Jejak Profesor Cilik
ARDINTORO |dot| COM - Pada
umumnya gelar seorang profesor itu di peroleh setelah menyelesaikan studi S3,
atau seseorang yang sudah melakukan penelitian di bidang IT. Tapi bocah ini mendapat
gelar profesor sejak kelas 2 SD.
Sayang
jaman dulu Belum begitu banyak wartawan. TV pun masih yang item putih,
makanya nggak msuk berita 😃, woles aja lah haha. Balik pada cerita saya. Pada
suatu hari di sebuah desa kecil yang hijau nan rimbun penuh dengan dedaunan yang segar-segar. (Sehijau dan sesegar apa Rif?, kau kira makanan
Sapi hijau dan segar) Hiduplah seorang Bocah Kelas 2 SD
yang ketika di suruh nulis gurunya, selalu ngeles dan nulis sembarang:
- Ibu Guru: "Hae Nak ayo di tulis yang di papan itu, biar pinter?".
- Bocah: "ya ibu, sudah selesai nie !''
- Ibu Guru: "Cepet Amat nulisnya nak!. Coba lihat tulisannya?" (dalam ati, nie bocah turunan betmen kali ya kok nulisnya cepet amat 😅)
- Bocah: "Nie Ibu Guru!".
- Ibu Guru: "Iiin … nie tulisanmu Nak!" (Kaget dalam hati) "Kamu tulis Sembarang ya?" (Sambil liat tulisanya, ibu guru ini terheran-heran kenapa yang di tulis ini bocah, berbeda dengan yang di papan).
- Bocah: Diam Seribu bahasa (di dalam hatinya ingin nagis dan takut).
- Ibu Guru: "Nanti saya bilang sama orang tuamu yaaa, kalau kamu di sekolah nulisnya sembarang!!!".
Tibalah
waktu penerimaan Raport cawu 1 dimulai, (Jaman dulu masih menggunakan
cawu atau caturwulan) sekaligus penggumuman libur sekolah
dan ternyata ini bocah nilainya banyak yang merah dan nilai pancing (nilai 5 dan
6). Orang tua pun kecewa dan sedikit marah. "Hae nak kamu ini lo nggak belajar
to?, kok nilaimu jelek gini, besok jangan banyak bermain!, belajar sana, biar
seperti si anu … si itu … bla … bla … bla".
Waktu
libur Cawu 1 pun berakhir. Para siswa kembali sekolah. (Ibu Guru) "Anak-anak
pada hari ini kita memasuki cawu 2, ibu guru mohon harus di tingkatkan ya
belajarnya, ingat! Jangan banyak bermain, biar nilainya bagus!". "Hia ibu guru" (Jawab
siswa). Hari itu, suasana belajar di kelas sanggat hening, semua siswa lagi
serius nulis di papan, tapi mata ibu guru ini, tertuju pada seorang siwa yang
duduk di tengah, setiap diperhatikan kalau nulis, selalu maju ke depan.
- Ibu Guru: "Hae nak kenapa dudukmu pindah-pindah!!! Sudah nulis?".
- Bocah: "Sekali lagi diam seribu bahasa."
- Ibu Guru: "Coba liat tulisanmu???".
- Bocah: "Nie Ibu Guru".
- Ibu Guru: "Hae nak tulisan kamu sembarangan lagi ya, seperti cawu I, awas nanti saya kasih tau orang tuamu itu".
- Bocah: "Hik…hik…hik menaggis" (dalam hati bersedih karena takut di marahi ortu)
- Ibu Guru: "Nie surat panggilan! Kasih Orang tua ya?".
- Bocah: "Iya ibu guru". (dengan kepala tertunduk).
Hari
itu pun tiba, ketika Ibu dari sang bocah ini datang ke sekolah, karena
di panggil menghadap melalui surat yang di kirim kemaren:
- Orang Tua Bocah: "Selamat Siang Ibu Guru? Saya di Panggil ke sekolah ya?".
- Ibu Guru: "Ia ibu, kemaren itu saya nitip surat sama anak ibu, agar Ibu datang ke sekolah, ada masalah-masalah sedikit yang perlu di bicarakan tentang anak ibu."
- Orang Tua Bocah: "Memangnya Masalah Apa Ibu Guru?".
- Ibu Guru: "Gini lo Bu… anak ibu ini nggak tau kenapa, setiap di suruh nulis di papan selalu maju dan tulis sembarang, mungkin matanya agak kabur kalau liat tulisan. Coba ibu priksakan ke Puskesmas, siapa tau matanya ada gangguan."
- Orang Tua Bocah: "Ya ibu guru nanti saya coba periksakan kalau ada kesempatan. Kalau begitu saya pamit pulang dulu ya ibu guru?".
- Ibu Guru: "Baik Ibu Silahkan!".
Tibalah
waktu hari libur. Sang Ibu berbicara sama si bocah:
- Orang Tua Bocah: "Hae nak, ayo ke Puskesmas untuk periksa mata, katanya ibu guru, kalau kamu nulis di papan selalu maju ke depan ya?".
- Bocah: "Ia Mak, sebenarnya saya mau ngomong dari dulu, tapi saya takut mamak marah, saya itu kalau nulis di papan nggak kelihatan, lihatnya itu cuma seperti coret-coret saja, makanya saya selalu tulis sembarang mak".
- Orang Tua Bocah: "Mungkin benar dugaan ibu gurumu, mata kamu bermasalah."
Setelah
di periksakan ke Puskesmas, ternyata dugaan ibu guru pun benar, bocah ini matanya
terkena min dan sudah parah. Mata kiri terdeteksi Min 6 dan kanan 3, akhirnya di putusan harus pakai kaca mata.
Jadilah
Sosok bocah yang baru. Kemaren yang agak kabur-kabur dalam melihat, sekarang
menjadi terang-benerang dan tambah gaya karena pake kaca mata. Seperti
berada di dunia baru bagi dia.
Tibalah
waktu masuk sekolah, dengan kaca mata baru, si bocah ini berjalan memasuki
ruang kelas. Prok… prok… prok… suara sepatunya, semua mata tertuju pada bocah
ini.
- Teman-Teman Bocah: "Hae kaca mata baru ya?, Mata kamu buta kah, nggak bisa lihat, kok kecil-kecil sudah pakai kaca mata?" (Terus dan terus di bully si bocah ini oleh teman-temannya).
- Bocah: Terdiam malu, (sesekali bilang) "Ia saya kena mata Min?".
- Teman-Teman Bocah: "Kalau Begitu mulai sekarang, kamu saya pangil “PROFESOR”, karena masih kecil sudah pake kaca mata".
Semenjak
memakai kaca mata peningkatan prestasi bocah ini semakin baik, dulu yang nggak
pernah dapat rangking sekarang mulai dapat, karena yang di ajarkan guru, di
tulis dan di fahami dengan baik.
Sekarang
si bocah itu sudah lulus kuliah dan menjadi guru, masih mendapat panggilan yang
sama “PROFESOR”, dari teman-teman
akrapnya. Ya … si bocah itu ternyata adalah “AKU”. Si Penulis ini 😅 wkwk.
Rasanya
ingin tertawa + menangis kalau ingat jaman kecil. Trimakasih Ibu Guru "HANIK" yang mengingatkan ortu untuk
memeriksakan saya ke Puskesmas. Berkat jasa Anda saya bisa menjalani hidup dengan normal dan mendapat panggilan “PROFESOR”,
walau belum menempuh Studi S3. Semoga suatu saat nanti bisa menjadi Profesor beneran bukan Abal-abal
hehe. Alfatehah untuk beliau (Ibu Guru Hanik) katanya sekarang sudah Almarhumah.
Baca Juga: Cita-Citaku Menjadi Batman
Pesan-Pesan :
“Buat
semua Orang Tua wajib melihat perkembangan anaknya dari dini, apakah ada
kelainan-kelainan pada anak, mungkin terkena Min, Silinder, Katarak, atau
penyakit berbahaya lain yang dapat merugikan perkembangan anak. Jangan seperti
saya sudah parah baru ketahuan kalau terkena min”.
Sekian Terimakasih.
15 comments for "Jejak Profesor Cilik"
Jika ada yang Ingin Anda Tanyakan Terkait Artikel di atas Silahkan Bertanya Melalui Kolom Komentar Berikut ini, dengan Ketentuan :
1. Berkomentarlah dengan Sopan (No Spam, Sara dan Rasis).
2. Komentar di Moderasi. Bila berkomentar nggak sesuai dengan kebijakan Blogger maka nggak di terbitkan!
3. Centang kotak Notify Me / Beri Tahu Saya untuk mendapatkan notifikasi komentar.
4. Happy Blogging 🙂.
Owalah, ternyata anak itu yg punya blog ini. Cerita nya bagus gan, sesuai pengalaman pribadi.
ReplyDeleteHia :)
DeleteTerimakasih Gan uda berkunjung.
Ya ampun mas kelas 2 SD udah minu 6 dan 3,,, saya ga kebayang itu gimana kalau mau ngeliat, susah bener.
ReplyDeleteternyata si pemilikk blog, dari professor jadi guru sekarng, haha
Itu lah, klo pake kcamata normal, mkin pengaruh kurang makan sayur kali ya, memang waktu kecil ndak doyan makan sayur ane,
DeleteTrims uda berkunjung sob ♡
Wk wk.. Ternyata profesornya sampean yo mas... Syukuri aja.. Sapa tau kesampean jd profesor beneran... Amiin
ReplyDeleteHehe hia mbak, Amin juga :)
DeleteHanya ingin berbagi pengalaman masa kecil, untuk pelajaran khususnya buat ibu" muda agar lebih jeli memperhatikan perkembangan anaknya :)
woalahhh kirain siapa profesornya. dulu aku juga gitu masih SD udah nggak bisa baca tulisan di papan. ternyata setelah periksa minus. tapi aku nggak pakai dapet gelar profesor dari temen-temen hhe.
ReplyDeleteWah halo pak Profesor, xixixi
ReplyDeleteCeritanya sama kaya anak kelasku nih, jd ketika disuruh nulis pasti cuma oret2 gt, giliran di cek ke dokter mata udah minus yg lumayan. Akhirnya pke kacamata dan udh bisa nulis dg benar dan bagus :) memang penting bgt ortu memantau perkembangan anak dan mesti selalu waspada :)
Wah ternyata pengalaman pribadi ya. Mantap, ceritanya disajikan dengan bahasa yang ringan dan seru. Btw setelah dewasa, sekarang minusnya nambah atau tetap?
ReplyDeletepas bacain dari atas ko ada rasanya feeling, jangan-jangan ini kisah nyata dan kisahnya si penulis, eh udah sampai bawah ternyata betul, aamiin Kak semangat untuk lanjut studinya, sama-sama pejuang Ph.D. kita ehhe tos ah
ReplyDeleteTetap #SemangatCiee kak, kisah ini pembelajaran untuk para orangtua, dan calon orangtua ya. Dan sebagai anak, jangan diam juga ya, sampaikan agar banyak yang mengerti
ReplyDeleteSebagai guru, memang harus mencari pokok permasalahan dengan baik dan benar. Gak bisa ngejudge murid jelek. Karena apa yang disangkakan belum tentu benar adanya. Fokus solusi. Itu yang tepat.
ReplyDeleteSemoga jadi profesor beneran ya. Terus pupuk impian dan rintis perlahan. Semangat!
Profesor Arif! Jadi teringat aku dulu sewaktu kena minus dan belum terdeteksi (belum pakai kacamata) juga susah melihat tulisan di papan tulis. Tapi beruntungnya engga sampai yang kena panggil orangtua gitu Mas Ayik, hehe. Aku dulu malah menyalahkan spidolnya (apa tintanya perlu diisi ulang?). Sulitnya ketika guru yang punya tulisan kecil-kecil. Akhirnya aku memutuskan untuk periksa mata. Meski kita beda zaman, dan tipinya udah berwarna, tapi tetep aja yang memakai kacamata belum sebanyak sekarang (hmmm seingatku begitu). Terus ada satu teman yag berkacamata, dia kayak senang gitu punya teman senasib yang pakai kacamata di kelas. hehe.
ReplyDeleteProfesor Arif! Jadi teringat aku dulu sewaktu kena minus dan belum terdeteksi (belum pakai kacamata) juga susah melihat tulisan di papan tulis. Tapi beruntungnya engga sampai yang kena panggil orangtua gitu Mas Ayik, hehe. Aku dulu malah menyalahkan spidolnya (apa tintanya perlu diisi ulang?). Sulitnya ketika guru yang punya tulisan kecil-kecil. Akhirnya aku memutuskan untuk periksa mata. Meski kita beda zaman, dan tipinya udah berwarna, tapi tetep aja yang memakai kacamata belum sebanyak sekarang (hmmm seingatku begitu). Terus ada satu teman yang berkacamata, dia kayak senang gitu punya teman senasib yang pakai kacamata di kelas. hehe.
ReplyDeleteWkwkwkwk... Padahal, nggak semua profesor pakai kacamata
ReplyDelete